Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua Provinsi di Indonesia, serta pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan (UPR) maupun melalui email resmi Komnas Perempuan, dalam kurun waktu satu tahun ke belakang.


Tingkat respon pengembalian bertambah seiring dengan naiknya jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2019 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 6 %. Jumlah kasus KTP 2019 sebesar 431.471, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 406.178. Sebagian besar data bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh PN/PA.


Rujukan (UPR) satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 1.419 kasus yang datang ke Komnas Perempuan, di mana 1.277 kasus adalah kasus berbasis gender 142 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.



Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 24% (3.602) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1% (12 kasus). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.783 kasus (43%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis 2.056 (19%) dan ekonomi 1.459 kasus (13%).Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.602 kasus.. 


Pencabulan dan persetubuhan merupakan istilah yang banyak digunakan Kepolisian dan Pengadilan karena dasar hukum pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku.Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) negara, kasus-kasus yang dilaporkan sejumlah 12 kasus. Data berasal dari WCC dan LSM. 9 kasus dari DKI Jakarta antara lain adalah kasus penggusuran, kasus intimidasi kepada jurnalis ketika melakukan liputan, pelanggaran hak administrasi kependudukan, kasus pinjaman online, tuduhan afiliasi dengan organisasi terlarang. Lalu 2 kasus berasal dari Sulawesi Selatan berupa kasus pelanggaran hak adminduk dan kesulitan untuk akses hak kesehatan berkaitan dengan BPJS, serta 1 kasus dari Jawa Tengah berupa pemukulan oleh oknum Satpol PP ketika terjadi penggusuran.


Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal, selalu sama seperti tahun-tahun sebelumnya kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 2.341 kasus (21%). Kekerasan terhadap anak perempuan di tahun ini meningkat di banding tahun 2018, mengalahkan kekerasan dalam pacaran 1.815 kasus (16%%), sisanya adalah kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.


CATAHU 2020 ini menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2019. Beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian diantaranya tentang laporan inses (pelaku paling banyak adalah ayah kandung, ayah tiri/angkat dan paman), kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan ke instansi negara, meningkatnya angka kasus KBGO menjadi 35 kasus senada dengan meningkatnya laporan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan tentang kasus KBGO yang di tahun ini meningkat 300% dari 97 kasus menjadi 281 kasus.


Kecenderungan Kekerasan Seksual terjadi pada relasi pacaran dengan latar belakang 

pendidikan paling tinggi SLTA, baik sebagai korban maupun pelaku. Kondisi ini disebabkan 

kurangnya pemahaman seksualitas dan kesehatan reproduksi di usia seksual aktif sehingga 

perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (Pendidikan Seksualitas Komprehensif) dalam kebijakan pendidikan di indonesia sangat dibutuhkan. 


Data CATAHU selama 3 tahun terakhir menemukan bahwa ada pelaku usia anak, jika dibagi 

dengan penduduk usia yang sama, 7 anak per 1.000.000 usia anak kurang dari 18 tahun 

berpotensi menjadi pelaku per tahun. Dengan kata lain setiap hari rata-rata dua anak menjadi pelaku kekerasan.


Perempuan Pembela HAM rentan terhadap kriminalisasi, stigma komunis, liberal, murtad, 

dan makar/ ekstrimis akibat ketiadaan Mekanisme Perlindungan Perempuan Pembela HAM. Kasus kekerasan terhadap anak perempuan di ranah personal didominasi oleh kekerasan 

seksual yang dilakukan oleh orang terdekat korban (ayah kandung, ayah angkat/ tiri, dan 

paman). 


Angka kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasikan oleh lembaga layanan milik 

pemerintah dan organisasi non pemerintah masih didominasi lembaga layanan di wilayah

Jawa. Sementara wilayah di luar Jawa memberikan konstribusi yang masih rendah yang 

berdampak minimnya pencatatan dan pendokumentasian data kekerasan di wilayah tersebut.


Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) meningkat dalam tiga tahun terakhir berbentuk 

ancaman dan intimidasi penyebaran foto/ video dengan konten pornografi. Komnas 

perempuan mengalami kesulitan mencari lembaga penerima rujukan layanan KBGO yang 

disebabkan minimnya kapasitas lembaga layanan dalam penanganan kasus KBGO. Perempuan korban KBGO rentan dikriminalkan dengan menggunakan UU ITE dan UU 

Pornografi. 


Tahun 2019 ada kenaikan angka dispensasi nikah yang dikabulkan Pengadilan Agama 

sebesar 85%. Angka ini adalah angka yang dilaporkan, angka pernikahan anak yang tidak 

dilaporkan kemungkinan lebih tinggi. Kenaikan ini bisa disebabkan karena sudah ada 

keputusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review menaikkan usia pernikahan menjadi 

19 tahun.

Komentar

Posting Komentar